Sabtu, 12 Februari 2011

Kisah di Kelas Kecilku

lovely 2A in 2009-2010
Pemilu Raya di Kelas 2A


    Hari pertama masuk sekolah untuk anak-anak. Baju terlihat rapi, bersih dengan warna cerah. Bahkan sebagian memilih mengenakan baju seragam baru. Tahun ajaran baru telah tiba. Wajah bahagia, cerah ceria hingga wajah-wajah khawatir ditinggal orangtuanya. Kebanyakan anak-anak baru yang masih enggan ditinggal ayah, ibunya atau pengasuhnya. Pemandangan ini selalu ada diawal tahun pelajaran. 

Dengan harap-harap cemas, sedikit deg degan, kakiku melangkah menuju ruang kelas 2A. Sebenarnya sebelum anak-anak itu masuk, aku dan partner kerjaku sudah mendesain kelas sedemikian rupa. Berharap mereka suka, betah dan serasa rumah kedua buat mereka.
   
Anak-anak kecil itu akhirnya duduk tenang, maklumlah, mereka berasal dari kelas yang berbeda-beda. Ada yang dari kelas 1A, 1B dan 1C. Tiba-tiba terdengar bunyi bel tanda masuk kelas. Tet…tet…tet… kamipun masuk. Partnerku adalah seorang guru senior. Sedangkan aku sendiri menjadi guru peralihan. Selama 7 tahun terkungkung disebuah laboratorium komputer, awalnya meramu pembelajaran komputer untuk usia dini. Dan hari ini adalah hari pertamaku menjadi walikelas, stay di kelas kecil. Kuanggap ini sebuah challenge yang harus aku lalui. Yang penting masih bisa ketemu tiap hari dengan anak-anak berwajah polos
itu.

Kampanye Pemilu Raya 
  
  Anak-anak yang rata-rata baru berumur 7 tahun itu, ternyata telah mengenal arti kampanye, pemilu, contreng dan bilik suara. Ah ya, baru dua bulan lalu hiruk pikuk pemilihan presiden Indonesia usai. Bahkan bagi kebanyakan mereka, Pak SBY dan Boediono telah resmi menjadi pemimpin baru negeri ini. Padahal
presiden belum dilantik ketika itu.
  
  “Assalamu’alaikum…apa kabar kalian semua?” sapaku sambil menerima uluran tangan-tangan mungil yang berebutan mau bersalaman. “Wa’alaikumsalam, us, us Rakhma dulu sering di Lab Komputer itu kan?” tanya Melati. Gadis kecil yang terlihat sangat lincah. Cara berjalannya cepat, dan terlihat ramah. Panggilan guru disekolahku adalah ustadzah. Tapi panggilan ini sebenarnya baru 2 tahun terakhir, sejak Kepala Sekolah diganti dengan seorang ustad pengajar Bahasa Arab. Sebelumnya anak-anak cukup memanggil bu guru atau pak guru. Murid di kelas 3 hingga alumni ya selalu memanggilku bu guru. 
    Ya, murid-muridku di kelas 2A ini sudah mengenalku ketika tahun lalu mereka masih di kelas 1 dulu, mereka mengenalku sebagai guru komputer. Ada lagi seorang anak laki-laki yang dari awal kedatanganku selalu mendekatiku. “Sayang, siapa namamu?” tanyaku dan ia menjawab dengan suara manja. “Garin, us.” Dulu aku selalu mengajar komputer anak-anak kelas besar. Jadi sekarang belum terlalu hafal aku dengan nama-nama mereka. Masa orientasi awal masuk sekolah ini, anak-anak pulang pukul 11.00 WIB. Kesempatanku untuk mengenal lebih dekat sahabat-sahabat baruku ini. Dan agendaku hari ini adalah mengajak anak-anak menyusun pengurus kelas yang baru. 

   Di Sekolah Dasar tempatku mengajar, terdapat 16 kelas dari kelas 1 hingga kelas 6, dengan jumlah murid sekitar 500 anak. Beberapa malah datang dari lain kabupaten. SD yang terletak tepat dijantung kota Solo ini tidak begitu luas halamannya, hanya memiliki satu lapangan basket (itupun harus berebut parkir dengan kendaraan) dan satu halaman dalam untuk do’a pagi bersama sekaligus arena bermain futsal. 
 “Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah. Kita akan menjadi satu keluarga baru di kelas 2 ini. Jika sebelumnya kalian dari keluarga kelas satu A, B dan C, maka sekarang kita telah menjadi keluarga baru yaitu keluarga 2A.” Perkenalan dimulai, dan ternyata masih banyak anak-anak yang juga belum hafal nama kawannya. Kecuali dulu pernah satu kelas. “Kita akan berkenalan ya? Tepukkan tangan kalian tiga kali, ikuti us, ya?” Sebutkan sebutkan (tepuk tangan 3 kali=…) nama-nama … teman-teman … yang ada … di dua A … mulai … dari … us Rakhma …, dan seterusnya. Lalu disambung us Pri, dan satu per satu anak-anak mengenalkan namanya. Selesai main tepuk tangan, kami makin asyik bermain tepuk meja dengan lagu yang sama. Anak-anakpun makin bersemangat. 

    Seusai istirahat pertama, aku mulai membahas tentang pemilihan ketua kelas. “Keluarga kita perlu pengurus kelas. Nah, siapa saja yang ingin mencalonkan diri menjadi ketua kelas, boleh maju ke depan. Dan kalianlah yang akan memilihnya sendiri. Setelah ini, pemilihan umum akan segera dimulai.”  Pemilihan ketua kelas dan para punggawannya dimulai. Diluar dugaan ternyata mereka sangat antusias. Berebutan malah. Ternyata bagi anak-anak polos itu, menjadi ketua kelas punya gengsi tersendiri. Maju kedepan kelas sekitar 20 anak. Berarti yang belum maju hanya tinggal 15 anak. Lumayan untuk stok calon pemimpin baru masa depan.
“Us, aku juga ya?” pinta Alvin sambil memegang tangan kananku. Setelah yakin aku menganggukkan kepala, baru ia turut teman-temannya naik ke panggung kecil di bawah papan tulis. Dari cerita rekanku yang menjadi guru mereka di kelas sebelumnya, sepertinya masih ada anak-anak yang berpotensi menjadi leader. Tapi hingga menit ke empat, tiga orang anak ini belum juga beranjak dari kursinya.
    “Alam. Rizal. Damar. Ayo maju kedepan!”
    “Tidak mau us, sudah banyak kok yang maju,” jawab Rizal enteng. Sementara Alam, anak berperawakan gempal, dan ramah ini malah asyik menyemangati kawan-kawannya yang belum maju. Dengan tetap duduk manis dikursi hijaunya. Damar hanya menggelengkan kepala. Meskipun mereka duduk terpisah, dan sepertinya memiliki kawan dekat berbeda, namun ada beberapa hal yang mirip. Oke us hargai pilihanmu.
  
  “Us, nanti apa kita nyontreng di bilik suara?” tanya Alam. Menurutmu bagaimana? Aku balik tanya. Lalu Alam mengusulkan agar pemilu kali ini seperti pilpres lalu. Teman-temanpun menyepakatinya. Baiklah, yang menjadi KPU nya tentu saja kami berdua guru mereka, aku dan rekan kerjaku. Rupanya Alam ini anak yang suka bermain dibalik layar. Idenya banyak dan langsung disepakati kawan-kawannya. Sayang, ia masih enggan tampil di muka publik dan menjadi orator.

Seleksi pertama adalah tahap uji kelayakan dan kompetensi dimana para calon menyampaikan solusi bijaknya apabila terpilih menjadi ketua kelas 2A. Pertanyaan
yang diajukan adalah jika melihat ada teman yang berkelahi, apa yang akan kamu lakukan dan solusinya apa saja.Tidak semua anak bisa berbicara dimuka umum. Memang butuh skill tersendiri. Farhan yang tadi semangat maju, memilih mundur sambil geleng kepala. “Tidak jadi us,“ katanya sambil bergegas kembali ke tempat duduknya. Alvin garuk-garuk kepala, mundur teratur. Garin senyum-senyum tidak jua bersuara. Eh…tahu-tahu si Nia juga lari dan kembali ke kursi disayap kiri, sambil tersenyum kecut. Tubuh Agfan digoyang-goyang ke kiri dan ke kanan saat gilirannya menjawab. Hendak menjawab namun tertahan. Sambil tersenyum Amal pun menyerah. Yang lain banyak pula yang turun panggung. Sementara itu, Aya berjanji akan berusaha keras untuk menasehatinya. Ibra berjanji akan mendamaikan teman-teman yang sedang bertengkar. Vava tidak mau kalah, ia bahkan akan menghentikan perkelahian, lalu dinasehati dan terakhir memberitahu bapak dan ibu guru.
     Ryo dengan suara pelan mengatakan bahwa ia pun akan memisah temannya yang sedang berkelahi lalu ... Belum selesai ia mengungkapkan ide-idenya, tiba-tiba ia berkata, “Ah, sudah ya us, aku tidak jadi ketua kelas saja. Susah,” begitulah murid-muridku mulai berguguran di tahap seleksi pertama. Hukum alam. Terjaringlah anak-anak yang lumayan jago ngomong, kini masih tersisa 3 anak. Dua anak perempuan dan satu anak laki-laki. Maka kini memasuki tahap kedua, pidato tentang visi dan misi jika terpilih nanti. Salah satu calon kuat itu adalah Vava, anak perempuan dengan sorot mata yang terlihat tegas dan punya karisma. Pancaran matanya tajam, hidungnya mungil, berkulit sawo matang dan postur tubuhnya paling tinggi diantara anak perempuan lainnya. Dan keyakinannya sangat kuat  untuk bisa maju sebagai ketua kelas 2A.
Seleksi kedua adalah berpidato. Yah selayaknya Obama menyampaikan visi misinya saat hendak menjadi Presiden Amerika. Mulailah Vava sambil berdiri berpidato.
  
“Jika aku menjadi ketua kelas nanti, aku akan belajar sungguh-sungguh. Dan kelas ini akan selalu rapi, bersih dan tidak ada yang bertengkar. ”

   Perempuan kedua adalah Aya. Sekilas anak ini tampak kurang pede. Tatapan matanya sayu, seperti ada yang dipaksakan. Apa ya? Ah, itu hanya pandangan pertamaku saja. Buktinya ia mampu bertahan di 3 besar. Aya, akhirnya berbicara dengan nada suara yang kurang meyakinkan, volume suara kecil, kepala sedikit
menunduk. Ia pun berkata, “Jika aku menjadi ketua kelas, aku akan mengajak teman-teman untuk selalu rajin belajar, dan hidup rukun.”
   
Sedangkan Ibra, satu-satunya anak laki-laki yang bertahan hingga sesi pemilihan terakhir, dengan penuh percaya diri mengatakan, “Kelas ini tidak ada yang bertengkar, semua rukun dan kita jaga kelas kita ini selalu bersih. Jadi pilih aku ya.” Yah, Ibra percaya diri sekali berbicara dihadapan teman-temannya. Ibra yang bertubuh sedang selayaknya anak yang berusia 7 tahun lainnya. Dengan peci berwana hijau toska, ia semakin terlihat gagah. Banyak senyum. Posisi yang diperebutkan adalah Ketua, Sekretaris dan Bendahara Kelas. Supaya lebih demokratis, maka setiap penghuni kelas diberi hak menentukan satu pilihannya. Hmmm…sepertinya suara anak perempuan akan terbagi dua. Antara Aya dan Vava. Bagaimana dengan suara anak laki-laki?  
     Disudut ruang berukuran 5 x 5 meter ini, terdapat satu meja guru kecil berwarna hijau toska. Meja ini kecil sekali hanya berukuran 80 x 50 cm, dan menghadap anak-anak. Di meja inilah anak-anak mengumpulkan buku penghubung harian guru dengan orangtua yang dibawa setiap hari. Kujadikan bilik suara dengan kertas sobekan yang tertulis 3 nama anak calon ketua kelas. Setiap anak berurutan mencontreng nama temannya yang akan diberi amanah menjadi ketua kelas. 

   Wajah mereka terlihat cerah ceria, kecuali ketiga calon ketua kelas. Mereka tampak tegang, terlebih Aya. Tangannya diremas-remas, kepala menunduk, dudukpun terlihat kurang nyaman. Ambisinya untuk bisa menjadi ketua kelas boleh juga. Eh, tunggu dulu. Kulirik si Vava, ternyata ia tak kalah tegang menanti hasil pemilu ini. Hebat! Pandangan menyapu keseluruh ruang. Teguh sekali keinginan mereka. Hmmm, Ibra sesekali masih bisa melempar senyum kearah teman-teman laki-laki. Yah bisa jadi karena ia yakin semua anak laki-laki akan memilihnya.Menunggu hasil pencontrengan. Ketiga calon tadi duduk dikursi lipat warna merah, biasanya kursi ini digunakan bagi guru pendamping bagi anak berkebutuhan khusus. Mereka bertiga duduk menghadap kearah kawan-kawannya, berharap mereka memilih namanya. Kini, tak ada senyum diwajah mereka saat prosesi contreng. 
   Oke, saatnya pengumuman hasil pemilu raya. Apa ya hasilnya. Penasaran juga aku dengan pesta demokrasi dikelas kecilku. Akhirnya Aya memperoleh suara 5, Vava memperoleh suara 8 dan Ibra mendapatkan suara 22. Ibra satu-satunya laki-laki calon ketua terlihat tersenyum bangga. Kawan-kawan yang telah memilihnya juga terlihat puas. Sepertinya sih, semua anak laki-laki yang berjumlah 16 anak telah mencontreng namanya. Ditambah 6 suara dari anak perempuan. 

  Kulihat Vava lebih tampak kecewa daripada Aya. Bibir Vava mengatup dan pandangannya mulai kebawah. Aya terus melihat jumlah perolehannya dan sedikit lebih santai menerima kekalahan. Kujelaskan lagi seperti diawal tadi, bahwa kemenangan tidak boleh menjadikan kita sombong, dan kekalahan tidak boleh membuat kita patah semangat. Vava dan Aya semoga kalian mengerti dan akhirnya bisa menerima. Mereka berdua mendapat posisi pengurus kelas sebagai sekretaris dan bendahara. Bel istirahat pukul 09.00 telah berbunyi. Vava mendekatiku sambil bertanya, “Us, sekretaris itu apa saja tugasnya, ya?”

    Hari berikutnya, kelas telah usai dan anak-anak menunggu jemputan orangtuanya. Ada pula yang ikut antar jemput mobil sekolah. Di pintu kelasku berdiri seorang ibu, dengan rambut lurus sebahu. Make up tipis menyapu wajah cantiknya. Sebentar kami berkenalan, rupanya mamanya Vava. Saat akan pulang, Vava menggandeng mamanya dan diajaknya masuk kelas kami. Ia ingin memperlihatkan suasana kelas barunya. Selain itu, ternyata Vava juga bercerita kepada mamanya tentang rasa kecewanya ketika kemarin ia tidak terpilih menjadi ketua kelas. 
  
  Sementara itu Ibra, terlihat lebih percaya diri saat memimpin do’a pagi. “Hei! Diam….” Serunya jika kelas mulai tidak kondusif. Hampir satu minggu sudah, dan anak-anak ada yang masih tampak malu-malu dengan teman dari lain kelas saat kelas satu. Untuk beberapa hari, anak-anak koleris mulai terlihat juga. Demikianlah awal masuk sekolah di kelas 2A. Anak-anak yang unik dan hampir-hampir separuhnya berkarakter cukup kuat. Musim kompetisi baru akan segera dimulai.

                                                                *** kisahku ***by Rakhma***

3 komentar:

  1. Semoga anak-anak ini kedepanya bisa menjadi generasi yang lebih mateng daripada pemimpin-pemimpin kita sekarang.

    BalasHapus
  2. ayo anak-anak kamu pasti bisa jadi pemimpin lebih dari mereka. Keep the fight......

    BalasHapus
  3. betul betul betul...itu yg kita harapkan bersama

    BalasHapus

Karya Pelangi

Karya Pelangi
Kumpulan kisah inspiratif dari pemenang kompetisi "Pelangi"

Panggil Aku, dengan Cinta

Panggil Aku, dengan Cinta
Kolaborasi 50 penulis cilik & para guru dari sebuah kelas inklusi.

Pandang Aku, dengan Cinta

Pandang Aku, dengan Cinta
Kolaborasi 50 penulis cilik & para guru # seri 2

KARYA BUKU

KARYA BUKU
Aurel Temanku, penggalan-penggalan kisah dalam fiksi biru 2014.

KARYA BUKU

KARYA BUKU
Judul: 110 Trik Cepat CorelDraw untuk Pemula, Gramedia, Jakarta 2008.

KARYA BUKU

KARYA BUKU
Rakhma untuk Sasa, gadis cilik dikelasku