Rabu, 11 Oktober 2017

Menyemai Budaya Literasi di Sekolah Dasar

Sebelum bel berbunyi, sekitar lima hingga enam orang anak asyik membaca buku yang terpajang di rak baca kelas. Sementara siswa-siswi yang lain sepertinya belum tertarik dengan buku. Saya dulu melihat hal semacam ini hampir setiap tahun. Sudut baca di kelas hanya mampu menarik minat baca anak-anak sepekan pertama. Setelahnya adalah pembaca-pembaca militan yang setia dan selalu rindu dengan buku. Meskipun ditambah koleksi bukunya dari donasi anak yang membawa bacaan di rumah. Inipun yang membawa buku, mereka inilah yang saya sebut dengan pembaca militan tersebut. Saya mempercayai, anak-anak inilah pembaca cilik yang setia dan terbiasa dengan buku di lingkungan rumahnya masing-masing. Artinya, dari rumahpun telah tertanam kebutuhan membaca dan memahami isi buku bacaan. Karena biasanya, referensi bercerita mereka (baik secara tertulis maupun verbal), rupanya lebih kaya kosakata daripada anak-anak yang jarang membaca buku.
Deklarasi UNESCO juga menyebutkan bahwa literasi informasi terkait juga dengan kemampuan untuk mengidentifikasi, menentukan, menemukan, mengevaluasi, menciptakan secara efektif dan terorganisasi, menggunakan dan mengomunikasikan informasi untuk mengatasi berbagai persoalan-persoalan. Kemampuan-kemampuan itu perlu dimiliki tiap individu sebagai syarat turut serta berpartisipasi didalam masyarakat informasi, dan itu bagian dari hak dasar manusia menyangkut pembelajaran sepanjang hayat.

Jika kegiatan literasi selama ini lebih dikenal dan identik dengan aktivitas membaca dan menulis. Pada Deklarasi Praha pada tahun 2003 menyebutkan bahwa literasi juga mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi dalam masyarakat. Literasi juga bermakna praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya (UNESCO, 2003).
Sejarah dimasa perjuangan negara kita, telah membuktikannya. Bahwa tokoh-tokoh pergerakan nasional yang berjuang untuk bebas dari belenggu penjajahan, seperti Mohammad Hatta, Tan Malaka, Soekarno, Sjahrir, Soepomo, Agus Salim, dan tokoh-tokoh lainnya, adalah tokoh yang gemar membaca alias kutu buku. Artinya, kualitas intelektualnya dibangun melalui kebiasaan membaca buku.
Lalu bagaimana mengimplementasikan gerakan literasi di Sekolah Dasar? Darimana memulai dan membudayakan literasi siswa khususnya di tingkat Sekolah Dasar? Apa saja yang sebaiknya dilakukan guru sebagai pendidik menghadapi anak-anak di SD khususnya, yang belum tertarik untuk bersahabat dengan buku? Saya dan rekan-rekan pendidik di SD Al Firdaus Surakarta, melakukan beberapa formula dalam pengembangan literasi di sekolah kami. Barangkali melalui tulisan ini, bisa saling bertukar informasi dalam mengimplementasi gerakan literasi di Sekolah Dasar kita masing-masing.

Perpustakaan Rapi, Bersih, dan Ramah
            Pendidikan akan berhasil tentu apabila dibangun dari 3 pilar yang kokoh, antara orangtua, anak, dan sekolah. Budaya literasipun akan berhasil jika budaya baca dilakukan anak ketika di lingkungan rumah dan di sekolah. Jika berbicara buku, tak akan luput dari area bacanya. Perpustakaanlah yang menjadi jantung sekolah. Apakah di sekolah bapak dan ibu sudah memiliki perpustakaan yang rapi, bersih, dan memiliki petugas khusus (pustakawan) yang ramah anak?
            Mengapa hal ini penting? Karena citra perpustakaan yang selama ini ada, masih sebatas gudang buku, dengan penataan dan pengelolaan asal-asalan (dibaca: yang penting ada). Inilah yang harus segera diubah menjadi tempat belajar yang menyenangkan. Bahkan sebenarnya tidak selalu berbiaya mahal untuk membuat kenyamanan tempat membaca. Contohnya yang banyak berkembang saat ini. Rumah-rumah baca, kelompok swadaya masyarakat yang peduli dengan minat baca anak-anak. Yang sederhanapun jika dikelola dengan ketulusan, akan melahirkan kenyamanan bagi para penggunanya.
Karena sejatinya membangun budaya baca, bukan sekedar menyediakan buku dan ruang baca saja. Melainkan membangun pula sebuah pemikiran, perilaku, dan budaya dari generasi yang asing dengan buku, menjadi generasi yang mencintai buku. Dari sinilah kreativitas dan transfer wawasan pengetahuan berlangsung dan berkembang. Maka salah satu penentu kebiasaan siswa dalam ber-literasi di sekolah diantaranya adalah pengelola perpustakaan (pustakawan), lalu perhatian guru dan kepala sekolah yang terkait kurikulum, program, dan kegiatan yang dibuat oleh perpustakaan.
Di Sekolah Dasar tempat saya mengajar, perpustakaan sekolah telah dirintis lama. Pada perkembangannya, membangun budaya literasi tidak cukup hanya menambah jumlah buku dan pengunjung saja. Mulailah program literasi untuk siswa SD dibuat, baik internal maupun eksternal. Secara kebijakan internal, dibuat kurikulum bermuatan lokal yang khusus mengeksplorasi kajian-kajian literasi, yang dinamakan Mata Pelajaran Eksplorasi Pustaka. Muatan yang dikembangkan adalah membaca, menulis, dan berbicara. Dari membaca, lalu dikembangkan untuk menuliskannya dalam bentuk cerita bergambar, cerita pendek, puisi, pantun, resensi, artikel, dan karya ilmiah sederhana. Kemudian berjenjang sesuai kemampuan verbalnya, siswa di SD dibimbing untuk percaya diri tampil melalui mendongeng, membacakan sajak, dan juga mempresentasikan tulisannya. Disinilah peran sekolah menjadi penting untuk menentukan kebijakan sekolah berkaitan dengan budaya literasi di Sekolah Dasar.
Secara eksternal, perpustakaan sekolah dapat mulai mengembangkan program atau kegiatan yang dapat terus menarik minat siswa datang dan memanfaatkan perpustakaan sebagai sumber belajar mereka. Dengan menyelenggarakan kegiatan berkala yang diperuntukkan untuk masyarakat di sekolah, disesuaikan dengan hari-hari besar nasional. Misalnya di hari Buku Nasional (17 Mei), bulan bahasa (Oktober), ataupun pada Hari Buku Internasional (23 April). Lomba antar sekolah akan menjadi ajang bergengsi diantara para siswa. Lomba literasi yang dapat dikembangkan antara lain; menulis cerpen, membaca puisi, menulis resensi, membuat cerita bergambar, mendongeng, story telling, dan lain sebagainya.

Perhatian Guru terhadap Budaya Literasi
            Pada poin perhatian guru di kelas, sebagai dirigen orkestra pembelajaran, sejatinya mempunyai peran pengendali yang sangat vital. Maka dibeberapa sekolah telah mengupayakan sudut-sudut baca, pojok baca, dan dinding baca di lingkungan kelas. Menumbuhkan semangat mencintai buku dengan menempelkan jargon-jargon penyemangat, seperti Buku Jendela Dunia, Membuka Jendela Dunia, dan lain sebagainya. Kemudian apalagi yang dapat kita sebagai guru lakukan?
            Yang penulis lakukan tiga tahun terakhir ini adalah, mengajak anak didik di kelas untuk berkarya sesuai kebisaan mereka. Dengan membawakan contoh majalah anak dan koran harian yang memuat karya anak, seorang guru dapat mulai mengenalkan media cetak.

  
Ket: Contoh karya puisi siswa yang telah dimuat di harian umum

Anak-anak yang secara kontinyu dibimbing dan didukung untuk terus mau berkarya, seperti menulis puisi, menulis cerpen, dan menggambar bertema maka tidak mustahil, mereka akan berbangga dan lebih bersemangat berliterasi, manakala melihat karyanya dimuat dan diapresiasi. Bahkan beberapa harian koran beberapa kali mengirimkan surat wesel atau paket hadiah, sebagai wujud apresiasi karya anak-anak.

  

Ket: Contoh karya gambar siswa yang telah dimuat di harian umum

Seorang guru, selain menjadi teladan, juga menjadi motor penggerak dalam bidang literasi di sekolah. Sekarang ini, even perlombaan dibidang penulisan untuk siswa SD banyak digelar. Seperti Gelar Karya Eksplorasi Pustaka (GKEP), Konferensi Penulis Cilik Indonesia (KPCI), Lomba Menulis Cerpen oleh Penulis Cilik (PECI), dan Lomba Penulisan Menulis bagi siswa SD/MI. Peranan guru untuk mencari, membagikan informasi, kemudian melakukan pengayaan-pengayaan bagi siswanya yang memiliki minat dan berpotensi sesuai bidang lombanya. Tentu saja, dukungan kepala sekolah dan orangtua turut andil dalam keberhasilan meraih sebuah prestasi.

Ket: Pengayaan persiapan lomba penulisan
siswa-siswi kelas 2-6 SD Al Firdaus Surakarta

            Jikalau memungkinkan, guru juga dapat memfasilitasi karya siswa dalam bentuk portofolio. Yang penulis lakukan adalah bekerja sama dengan orangtua wali murid untuk mendukung putra-putrinya dalam menyusun naskah cerpen, puisi, ataupun tulisan perjalanan sesuai tahapan perkembangan bahasa tulis siswa. Setelah tersusun, diketik dalam bentuk file, karya tersebut dicetak mandiri melalui penerbit indie menjadi sebuah buku. Apresiasi yang sangat luar biasa dari anak didik dan para orangtua, karena buku akan menjadi sebuah kenangan indah, khas, dan dapat dinikmati dengan lebih lama. Dari pengalaman inilah, mulai terbit beberapa karya dari anak-anak di sekolah dengan penerbit besar.

 
Ket: Contoh karya penulisan dalam bentuk buku yang ditulis oleh
siswa-siswi kelas 3 dan 4 SD Al Firdaus Surakarta
           
Sekali lagi, tentu menumbuh-kembangkan budaya literasi, akan mustahil jika tanpa teladan. Di rumah dengan para orangtua adalah teladan sejati, di sekolah teladannya adalah guru-guru mereka. Anak-anak akan meniru dan lama kelamaan akan menjadi sebuah kebiasaan. Mari kita tidak hanya puas dengan memiliki anak yang sekedar bisa membaca saja. Namun bagaimana sekolah mampu menciptakan lingkungan anak yang suka membaca. Inilah nantinya yang menjadi cikal bakal masyarakat yang menghargai budaya literasi.*
           



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Karya Pelangi

Karya Pelangi
Kumpulan kisah inspiratif dari pemenang kompetisi "Pelangi"

Panggil Aku, dengan Cinta

Panggil Aku, dengan Cinta
Kolaborasi 50 penulis cilik & para guru dari sebuah kelas inklusi.

Pandang Aku, dengan Cinta

Pandang Aku, dengan Cinta
Kolaborasi 50 penulis cilik & para guru # seri 2

KARYA BUKU

KARYA BUKU
Aurel Temanku, penggalan-penggalan kisah dalam fiksi biru 2014.

KARYA BUKU

KARYA BUKU
Judul: 110 Trik Cepat CorelDraw untuk Pemula, Gramedia, Jakarta 2008.

KARYA BUKU

KARYA BUKU
Rakhma untuk Sasa, gadis cilik dikelasku