Sebelum bel berbunyi, sekitar lima hingga enam orang anak asyik
membaca buku yang terpajang di rak baca kelas. Sementara siswa-siswi yang lain
sepertinya belum tertarik dengan buku. Saya dulu melihat hal semacam ini hampir
setiap tahun. Sudut baca di kelas hanya mampu menarik minat baca anak-anak
sepekan pertama. Setelahnya adalah pembaca-pembaca militan yang setia dan selalu
rindu dengan buku. Meskipun ditambah koleksi bukunya dari donasi anak yang
membawa bacaan di rumah. Inipun yang membawa buku, mereka inilah yang saya
sebut dengan pembaca militan tersebut. Saya mempercayai, anak-anak inilah
pembaca cilik yang setia dan terbiasa dengan buku di lingkungan rumahnya masing-masing. Artinya, dari rumahpun telah
tertanam kebutuhan membaca dan memahami isi buku bacaan. Karena biasanya, referensi bercerita mereka (baik secara tertulis maupun verbal), rupanya lebih kaya kosakata daripada anak-anak yang jarang membaca buku.
Deklarasi UNESCO juga menyebutkan
bahwa literasi informasi terkait juga dengan kemampuan untuk mengidentifikasi,
menentukan, menemukan, mengevaluasi, menciptakan secara efektif dan
terorganisasi, menggunakan dan mengomunikasikan informasi untuk mengatasi
berbagai persoalan-persoalan. Kemampuan-kemampuan itu perlu dimiliki tiap
individu sebagai syarat turut serta berpartisipasi didalam masyarakat
informasi, dan itu bagian dari hak dasar manusia menyangkut pembelajaran
sepanjang hayat.
Jika
kegiatan literasi selama ini lebih dikenal dan identik dengan aktivitas membaca
dan menulis. Pada Deklarasi Praha pada tahun 2003 menyebutkan bahwa literasi
juga mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi dalam masyarakat. Literasi juga
bermakna praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa,
dan budaya (UNESCO, 2003).
Sejarah
dimasa perjuangan negara kita, telah membuktikannya. Bahwa tokoh-tokoh
pergerakan nasional yang berjuang untuk bebas dari belenggu penjajahan, seperti
Mohammad Hatta, Tan Malaka, Soekarno, Sjahrir, Soepomo, Agus Salim, dan
tokoh-tokoh lainnya, adalah tokoh yang gemar membaca alias kutu buku. Artinya,
kualitas intelektualnya dibangun melalui kebiasaan membaca buku.
Lalu
bagaimana mengimplementasikan gerakan literasi di Sekolah Dasar? Darimana
memulai dan membudayakan literasi siswa khususnya di tingkat Sekolah Dasar? Apa saja yang sebaiknya dilakukan guru sebagai pendidik menghadapi anak-anak
di SD khususnya, yang belum tertarik untuk bersahabat dengan buku? Saya dan rekan-rekan
pendidik di SD Al Firdaus Surakarta, melakukan beberapa formula dalam pengembangan
literasi di sekolah kami. Barangkali melalui tulisan ini, bisa saling bertukar
informasi dalam mengimplementasi gerakan literasi di Sekolah Dasar kita
masing-masing.
Perpustakaan Rapi, Bersih, dan Ramah
Pendidikan
akan berhasil tentu apabila dibangun dari 3 pilar yang kokoh, antara orangtua,
anak, dan sekolah. Budaya literasipun akan berhasil jika budaya baca dilakukan
anak ketika di lingkungan rumah dan di sekolah. Jika berbicara buku, tak akan
luput dari area bacanya. Perpustakaanlah yang menjadi jantung sekolah. Apakah
di sekolah bapak dan ibu sudah memiliki perpustakaan yang rapi, bersih, dan
memiliki petugas khusus (pustakawan) yang ramah anak?
Mengapa
hal ini penting? Karena citra perpustakaan yang selama ini ada, masih sebatas
gudang buku, dengan penataan dan pengelolaan asal-asalan (dibaca: yang penting
ada). Inilah yang harus segera diubah menjadi tempat belajar yang menyenangkan.
Bahkan sebenarnya tidak selalu berbiaya mahal untuk membuat kenyamanan tempat
membaca. Contohnya yang banyak berkembang saat ini. Rumah-rumah baca, kelompok
swadaya masyarakat yang peduli dengan minat baca anak-anak. Yang sederhanapun
jika dikelola dengan ketulusan, akan melahirkan kenyamanan bagi para
penggunanya.
Karena
sejatinya membangun budaya baca, bukan sekedar menyediakan buku dan ruang baca
saja. Melainkan membangun pula sebuah pemikiran, perilaku, dan budaya dari
generasi yang asing dengan buku, menjadi generasi yang mencintai buku. Dari sinilah
kreativitas dan transfer wawasan pengetahuan berlangsung dan berkembang. Maka
salah satu penentu kebiasaan siswa dalam ber-literasi di sekolah diantaranya
adalah pengelola perpustakaan (pustakawan), lalu perhatian guru dan kepala
sekolah yang terkait kurikulum, program, dan kegiatan yang dibuat oleh
perpustakaan.
Di Sekolah
Dasar tempat saya mengajar, perpustakaan sekolah telah dirintis lama. Pada
perkembangannya, membangun budaya literasi tidak cukup hanya menambah jumlah
buku dan pengunjung saja. Mulailah program literasi untuk siswa SD dibuat, baik
internal maupun eksternal. Secara kebijakan internal, dibuat kurikulum
bermuatan lokal yang khusus mengeksplorasi kajian-kajian literasi, yang
dinamakan Mata Pelajaran Eksplorasi Pustaka. Muatan yang dikembangkan adalah membaca,
menulis, dan berbicara. Dari membaca, lalu dikembangkan untuk menuliskannya
dalam bentuk cerita bergambar, cerita pendek, puisi, pantun, resensi, artikel,
dan karya ilmiah sederhana. Kemudian berjenjang sesuai kemampuan verbalnya,
siswa di SD dibimbing untuk percaya diri tampil melalui mendongeng, membacakan
sajak, dan juga mempresentasikan tulisannya. Disinilah peran sekolah menjadi penting untuk
menentukan kebijakan sekolah berkaitan dengan budaya literasi di Sekolah Dasar.
Secara
eksternal, perpustakaan sekolah dapat mulai mengembangkan program atau kegiatan
yang dapat terus menarik minat siswa datang dan memanfaatkan perpustakaan
sebagai sumber belajar mereka. Dengan menyelenggarakan kegiatan berkala yang
diperuntukkan untuk masyarakat di sekolah, disesuaikan dengan hari-hari besar
nasional. Misalnya di hari Buku Nasional (17 Mei), bulan bahasa (Oktober),
ataupun pada Hari Buku Internasional (23 April). Lomba antar
sekolah akan menjadi ajang bergengsi diantara para siswa. Lomba literasi yang
dapat dikembangkan antara lain; menulis cerpen, membaca puisi, menulis resensi,
membuat cerita bergambar, mendongeng, story telling, dan lain
sebagainya.
Perhatian Guru terhadap Budaya Literasi
Pada
poin perhatian guru di kelas, sebagai dirigen orkestra pembelajaran, sejatinya
mempunyai peran pengendali yang sangat vital. Maka dibeberapa sekolah telah
mengupayakan sudut-sudut baca, pojok baca, dan dinding baca di lingkungan
kelas. Menumbuhkan semangat mencintai buku dengan menempelkan jargon-jargon
penyemangat, seperti Buku Jendela Dunia,
Membuka Jendela Dunia, dan lain sebagainya. Kemudian apalagi yang dapat
kita sebagai guru lakukan?
Yang
penulis lakukan tiga tahun terakhir ini adalah, mengajak anak didik di kelas
untuk berkarya sesuai kebisaan mereka. Dengan membawakan contoh majalah anak
dan koran harian yang memuat karya anak, seorang guru dapat mulai mengenalkan
media cetak.
Ket: Contoh karya puisi siswa yang telah dimuat di harian umum
Anak-anak
yang secara kontinyu dibimbing dan didukung untuk terus mau berkarya, seperti
menulis puisi, menulis cerpen, dan menggambar bertema maka tidak mustahil,
mereka akan berbangga dan lebih bersemangat berliterasi, manakala melihat
karyanya dimuat dan diapresiasi. Bahkan beberapa harian koran beberapa kali
mengirimkan surat wesel atau paket hadiah, sebagai wujud apresiasi karya
anak-anak.
Ket: Contoh karya gambar siswa yang telah dimuat di harian umum
Seorang
guru, selain menjadi teladan, juga menjadi motor penggerak dalam bidang
literasi di sekolah. Sekarang ini, even perlombaan dibidang penulisan untuk
siswa SD banyak digelar. Seperti Gelar Karya Eksplorasi Pustaka (GKEP),
Konferensi Penulis Cilik Indonesia (KPCI), Lomba Menulis Cerpen oleh Penulis
Cilik (PECI), dan Lomba Penulisan Menulis bagi siswa SD/MI. Peranan guru untuk
mencari, membagikan informasi, kemudian melakukan pengayaan-pengayaan bagi
siswanya yang memiliki minat dan berpotensi sesuai bidang lombanya. Tentu saja,
dukungan kepala sekolah dan orangtua turut andil dalam keberhasilan meraih
sebuah prestasi.
Ket: Pengayaan persiapan lomba
penulisan
siswa-siswi kelas 2-6 SD Al Firdaus Surakarta
Jikalau
memungkinkan, guru juga dapat memfasilitasi karya siswa dalam bentuk
portofolio. Yang penulis lakukan adalah bekerja sama dengan orangtua wali murid
untuk mendukung putra-putrinya dalam menyusun naskah cerpen, puisi, ataupun
tulisan perjalanan sesuai tahapan perkembangan bahasa tulis siswa. Setelah
tersusun, diketik dalam bentuk file, karya tersebut dicetak mandiri melalui
penerbit indie menjadi sebuah buku. Apresiasi yang sangat luar biasa dari anak
didik dan para orangtua, karena buku akan menjadi sebuah kenangan indah, khas,
dan dapat dinikmati dengan lebih lama. Dari pengalaman inilah, mulai terbit
beberapa karya dari anak-anak di sekolah dengan penerbit besar.
Ket: Contoh karya penulisan dalam
bentuk buku yang ditulis oleh
siswa-siswi kelas 3 dan 4 SD Al Firdaus Surakarta
Sekali
lagi, tentu menumbuh-kembangkan budaya literasi, akan mustahil
jika tanpa teladan. Di rumah dengan para orangtua adalah teladan sejati, di sekolah teladannya adalah guru-guru mereka.
Anak-anak akan meniru dan lama kelamaan akan menjadi sebuah kebiasaan. Mari
kita tidak hanya puas dengan memiliki anak yang sekedar bisa membaca saja.
Namun bagaimana sekolah mampu menciptakan lingkungan anak yang suka membaca.
Inilah nantinya yang menjadi cikal bakal masyarakat yang menghargai budaya
literasi.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar